Jumat, 19 November 2010

PENURUNAN RADIUS ZONA BAHAYA MERAPI DAN DAMPAKNYA TERHADAP MANAJEMEN LOGISTIK

R.B.Baowollo

Penurunan radius zona bahaya Merapi secara bervariasi menyebabkan terjadinya arus balik pengungsi besar-besaran ke rumah masing-masing di kampung asal. Walau pun belum semua pengungsi sudah boleh kembali ke rumah, perkembangan dalam dua hari ini menuntut adanya peninjauan kembalii atas beberapa kebijakan manajemen kebencanaan, terutama menyangkut manajemen logistik: (1) pergeseran fokus dan tumpuan muara kebijakan logistik dari fokus posko ke fokus kampung/dusun; (2) intervensi kebijakan membangun kembali eksistensi pengungsi pasca-bencana dan pasca-pengungsian di pemukiman asal; (3) penataan kembali dan pemanfaatan sumberdaya yang selama ini berfungsi di posko untuk kebijakan intervensi kebijakan membangun kembali eksistensi pengungsi, terutama kebijakan 'darurat' di hari-hari pertama pengungsi membenahi kembali rumah dan pemukiman mereka; (4) reorganisasi pengelolaan pengungsi: dari basis posko darurat menjadi basis posko kampung/dusun; (5) dll.

Persoalan yang paling pelik adalah sinkronisasi dan kordinasi sumberdaya, terutama terkait dengan pergeseran pola penanganan pengungsi dari pola berbasis posko penampungan dan cluster-cluster turunannya menjadi pola berbasis kampung. Pada pola penganganan pengngsi berbasis posko orang dapat meingidentifikasi jumlah pengungsi menurut posko, kategorisasi menurut usia, jenis kebutuhan pengungsi serta lembaga/agency atau LSM mana saja yang memberi perhatian pada pengungsi di posko-posko. Oleh karena para pengungsi dari satu desa/dusun tidak semuanya terkonsentrasi di posko-posko di luar kampung/dusun mereka menurut kampung/dusun asal, maka letika mereka kembali ke kampung/dusun asal masing-masing mereka juga akan 'membawa dan menarik' tali penghubungan mereka dengan lembaga-lembaga yang sebelumnya memperhatikan mereka di posko-posko pengungsian. Kondisi ini mungkin tidka terlalu terasa di posko-posko pengungsian massal.

Skenario terjelek yang dapat terjadi adalah: masing-masing lembaga atau organisasi yang pernah menangani pengungsi di posko-posko akan mencari mantan pengungsi dampingan mereka hingga ke kampung/dusun asal untuk terus memebri dampingan. Hal ini tentu tidak salaha karena prinsip dampingan harus sampai pada titik dimana pihak yang didampingi bisa berdiri sendiri tanpa pendamping. Namun pernahkah kita membayangkan bahwa bisa terjadi di sebuah dusun/kampung 'diserbu' oleh banyak agency dengan tujuan dan alasan keterlibatan yang sama: meneruskan dampingan lanjutan?

Hal yang paling ideal adalah menata (kembali) kerjasama antar lembaga/agency pada level dusun/kampung untuk menjadi semacam pintu masuk/keluar bersama dalam mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan warga korban Merapi untuk membangun kembali eksistensi mereka di tingkat dusn/kampung. Hal itu tidak berarti menutup inisiatip perorangan dan/atau kelompok yang mengakses bantuan karena kedekatan primordial, kultural, emosional, dll dengan pihak luar. Dibutuhkan manajemen minimal di tingkat dusun/kampung yang memfasilitasi (baca: memudahkan) membangun kembali eksistensi warga, BUKAN BIROKRATISASI yang menghambat asesment dan penyaluran bantuan!

Idealisme ini tentu bertabrakan dengan banyak hal, terutama dengan ego sektoral dan ego masing-masing lembaga. Pemerintah sedang merancang program paket padat karya untuk memulihkan ekonomi warga di hari-hari awal. Seperti apa wujudnya? Walahu alam. Sinkronisasi antara program pemerintah dan pendekatan kedaruratan oleh lembaga/agency kebencanaan non-pemerintah lebih mudah dibayangkan ketimbang direalisasikan.

Ini dulu brain storming pagi ini dan ............. mari naik ke merapi menyapa mereka yang perlu disapa!

yogyakarta 20 November 2010

R.B.Baowollo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar